MANAJEMEN PEMASARAN GLOBAL
E-MARKETING DAN
ASPEK KOMUNIKASI
PEMASARAN GLOBAL
Disusun
oleh :
Arvia Virgiawan 11215060
Desi Andi Ningrum 11215712
Dinah Aprilianah 17215713
Ezra Roma 12215314
Farkhan Fauzan 12215533
Tiwi Ardian Putri 16215916
Kelas : 4EA26
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
MANAJEMEN
BEKASI
2016
2016
E-MARKETING DAN
ASPEK KOMUNIKASI PEMASARAN GLOBAL
1. PENDAHULUAN
Globalisasi
merupakan fakta yang tak terhindarkan dalam beberapa dekade terakhir. Kendati
demikian, makna istilah 'globalisasi' itu sendiri hingga saat ini masih belum
disepakati secara universal, terutama di kalangan akademisi. Di sejumlah
sekolah bisnis terkemuka, globalisasi didefinisikan sebagai produksi dan
distribusi produk dan jasa yang memiliki keseragaman tipe dan kualitas di
seluruh dunia (Rugman, 2001). Definisi yang berbasis ekonomik ini mengasumsikan
bahwa integrasi yang melampaui batas-batas negara berpotensi menghasilkan skala
ekonomis pada level perusahaan dan/atau produk-produk bermerek global. Bagian
penting dari definisi ini adalah keseragaman produk di semua pasar.
Sementara
itu, definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Giddens (1999) yang merumuskan
globalisasi sebagai "interkoneksi sedunia pada level kultural, politik dan
ekonomi yang dihasilkan dari eliminasi hambatan-hambatan komunikasi dan
perdagangan". Dengan kata lain, Giddens meyakini bahwa globalisasi
merupakan proses konvergensi aspek-aspek budaya, politik, dan ekonomi dalam
kehidupan.
Terlepas
dari perdebatan menyangkut konseptualisasi istilah globalisasi', satu hal yang
pasti adalah dampak signifikannya bagi dunia bisnis dan pemasaran. Salah satu
implikasi strategiknya berkenaan dengan semakin kuatnya intensitas persaingan
dan semakin luasnya lingkup kompetisi. Pesaing yang dihadapi sebuah perusahaan
tidak Iagi datang dari kawasan atau wilayah geografis setempat, tetapi raksasa
global darimancanegara hadir untuk saling berebut pasar. Sebagian besar industr
mengalami globalisasi yang dipicu oleh 4 faktor utama yang disebut 4C:
1.
Customers,
2.
Cost,
3.
Country, dan
4. Competition
(Yip, 1995).
1.
Faktor
pelanggan (customer drivers)
Faktor ini merupakan pemicu globalisasi
pasar yang paling kuat. Ada lima karakteristik utama pasar internasional yang
menyebabkan perusahaan perusahaan berminat menerapkan strategi pemasaran
global:
a.
Kesamaan kebutuhan
konsumen. Manakala konsumen di berbagai negara memiliki kebutuhan yang sama
terhadap kategori produk atau jasa tertentu, faktor kesamaan ini akan menjadi
pemicu pokok globalisasi perusahaan. Kesamaan ini difasilitasi oleh perkemr
bangan teknologi, komunikasi global, perdagangan global, dan perkembangan
pariwisata internasional.
b.
Pelanggan global.
Pelanggan global adalah konsumen yang membutuhkan produk atau jasa yang sama di
berbagai negara. Pada sektor B2B (business-to-business marketing), seiring
dengan proses globalisasi perusahaan, kebutuhan akan pasokan dan pemasok yang
memiliki jaringan global juga meningkat. Itulah sebabnya sejumlah pemasok di
industri otomotif menjalani proses globalisasi mengikuti strategi
internasionalisasi kliennya, contohnya Nippon Denso (Jepang), Bosch (Jerman),
dan Delco (Amerika).
c.
Saluran distribusi
global. Perusahaan-perusahaan distribusi dan logistik (seperti Federal Express,
TNT, DHL, dan sejenisnya) yang menyediakan jasa transportasi, pergudangan, dan
distribusi hampir semua belahan dunia, berdampak positif pada pe buhan strategi
pemasaran global. Banyak perusahaan yang terpacu untuk berekspansi global
karena adanya dukungan fasilitas jaringan distribusi semacam itu.
d.
Transferable marketing.
Faktor ini berkaitan dengan penggunaar: ide pemasaran yang sama di berbagai
negara, misalnya kemasan. iklan, nama merek dan unsur bauran pemasaran lainnya.
Iklan Marlboro, misalnya, cenderung sama antarnegara dan terbukti cukup
efektif.
e.
Leading markets. Istilah
leading markets mengacu pada pasar bercirikan: (1) produk dan jasa memiliki
kandungan teknologiterkini, (2) tingkat persaingan cenderung intensif, dan (3)
konsumen relatif canggih dan banyak menuntut (demanding). Berkembangnya
pasar-pasar semacam ini dan keinginan perusahaan untuk eksis di situ mendorong
perusahaan untuk menerapkan strategi global dalam rangka mengeksploitasi
peluang di leading markets.
Contoh spesifik dari sejumlah
perubahan pokok dalam faktor pelanggan meliputi antara lain:
· Pendapatan
per kapita beberapa negara mulai menyamai negaranegara industri, misalnya GNP
Hong Kong menyamai GNP Selandia Baru dan GNP Jepang menyusul GNP Amerika
Serikat.
· Konvegensi
gaya hidup dan selera, misalnya McDonald's sukses di Rusia dan China, restoran
Thailand banyak dikunjungi konsumen lokal (Australia) di Sydney, gaya busana
Paris Hilton banyak ditiru fansnya di berbagai belahan dunia, dan seterusnya.
· Semakin
meningkatnya arus wisatawan dan perjalanan (travel) yang pada gilirannya
menciptakan konsumen global.
· Organisasi-organisasi
mulai berperilaku sebagai pelanggan global, terutama dalam hal pengadaan
pasokan bahan baku dan SDM.
· Pertumbuhan
saluran distribusi global dan regional semakin pesat. Salah satu contohnya
adalah kesepakatan pada tahun 1989 di antara tiga jaringan pasar swalayan
terbesar di Eropa (Casino dari Perancis, Ahold dari Belanda, dan Argyll Group
dari Inggris) untuk menjalin kerja sama dalam pembelian dan pemasaran.
· Pembentukan
merek global, seperti Coca-Cola, Levi's, Louis Vuitton, Marlboro, McDonald's,
dan lain-lain.
· Tekanan
untuk mengembangkan periklanan global, misalnya iklan Saatchi & Saatchi
untuk British Airways.
2.
Faktor
biaya (cost drivers)
Faktor biaya bergantung pada aspek
ekonomi dunia bisnis, seperti skala ekonomis (economies of scale), lingkup
ekonomis (economies of scope), dan sourcing advantages. Skala ekonomis berupa
pengurangan biaya per unit (unit cost) dapat diperoleh melalui upaya memasok
lebih dari satu pasar luar negeri. Lingkup ekonomis dapat didapatkan dengan
cara menyebar aktivitas di berbagai lini produk atau unit usaha. Sejumlah
perusahaan global, seperti Unilever, Colgate-Palmolive, dan P&G, memiliki
beberapa pabrik kecil di banyak negara, namun mereka dapat mendapatkan lingkup
ekonomis dengan jalan memasarkan beraneka ragam produk. Cara lain untuk menekan
biaya adalah memanfaatkan pasokan dari negara yang biaya tenaga kerjanya
rendah; menerapkan sistem logistik dan distribusi yang canggih; dan mengoptimalisasikan
pemanfaatan teknologi.
· Berlanjutnya
tekanan untuk mencapai skala ekonomis tanpa harus mengorbankan kemampuan untuk
menerapkan pemanufakturan fleksibel.
·
Inovasi teknologi yang semakin cepat
· Kemajuan
dalam transportasi, misalnya pemakaian jasa Federal Express untuk mengirim
dokumen-dokumen yang sangat penting dari satu benua ke benua lainnya
· Munculnya
NIC (Newly Industrializing Countries) dengan kapabilitas yang produktif dan
biaya tenaga kerja yang murah, misalnya Taiwan, Thailand, dan China.
· Meningkatnya
biaya pengembangan produk secara relatif terhadap usia pasar (market life)
3. Faktor negara (country drivers)
Di masa lampau, hambatan pemerintah terhadap
masuknya investasi dan perusahaan asing berdampak pada terproteksinya pasar
domestik dan tidak berkembangnya pemasaran global. Perkembangan terakhir
menunjukkan adanya tren ke arah perdagangan bebas yang memfasllitasi aktivitas
pemasaran global. Lebih lanjut, faktor negara bergan pada tindakan pemerintah
dan faktor-faktor berikut:
·
Pengurangan hambatan tarif, misalnya
melalui pembentukan AFTA dan NAFTA.
·
Pengurangan hambatan non-tarif, misalnya
Jepang yang semakin membuka pasarnya.
·
Pembentukan blok-blok perdagangan,
seperti pasar tunggal Eropa
· Berkurangnya
peranan pemerintah sebagai produsen dan pelanggan, misalnya de-nasionalisasi
beberapa industri di Eropa.
· Privatisasi
terhadap berbagai sektor yang sebelumnya didominasi pemerintah, khususnya di Amerika
Latin.
·
Perubahan dari sistem komunis tertutup
menjadi ekonomi pasar terbuka di Eropa Timur.
·
Semakin besarnya partisipasi RRC dan
India dalam perekonomian global.
4. Faktor persaingan (competition drivers)
Dalam sejumlah industri, keberhasilan pesaing
yang melakukan "go global" dapat menjadi pendorong kuat bagi
perusahaan lain untuk mengikutinya. Contohnya, Ericsson (perusahaan Swedia) dan
Nokia (perusahaan Finlandia) saling terpacu satu sama lain untuk memasuki pasar
telepon genggam Amerika Serikat di akhir dekade 1990-an. Dengan mengikuti
langkah pesaing, perusahaan juga dapat sekaligus belajar dari kesalahan mereka
sebelum memutuskan strategi yang tepat. Sementara itu, kehadiran pesaing global
di pasar domestik sebuah perusahaan juga dapat menjadi pendorong bagi
perusahaan bersangkutan untuk memasuki pasar negara lain. Sebagai contoh,
keberhasilan Benetton di pasar Amerika mendorong The Gap dan The Limited untuk
masuk ke pasar global.
Perubahan-perubahan
pokok yang memengaruhi faktor persaingan dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai
berikut:
· Peningkatan
level perdagangan dunia secara terus-menerus
· Semakin
banyak negara yang menjadi key competitive battlegrounds, misalnya munculnya
Jepang sebagai lead country
· Semakin
bertambahnya jumlah perusahaan yang dimiliki oleh pihak asing
· Munculnya
pesaing baru yang menjadi pesaing global, terutama perusahaan-perusahaan Jepang
dalam industri otomotif dan elektronik
· Tumbuhnya
jaringan global yang menyebabkan setiap negara dapat saling tergantung dalam
industri-industri tertentu, misalnya dalam industri elektronik. Semakin banyak
perusahaan yang bersifat globally centered ketimbang nationally centered,
misalnya Uniden (produsen peralatan telekomunikasi Jepang) yang tidak pernah
melakukan proses produksi di Jepang.
· Semakin
bertambahnya pembentukan aliansi strategik global.
5.
Faktor-faktor
lain
Faktor
4C dari George S. Yip dapat ditambah dengan 3C lain tak kalah pentingnya
sebagai pemicu globalisasi industri:
a. Communication
technology advancement, yakni revolusi di teknologi informasi dan komunikasi,
misalnya perkembangan: komputer personal, mesin faksimili, modem, Internet
Intranet, Extranet, WAP, VolP, m-commerce, iPod, telepon genggam, dan
sebagainya.
b. Capital,
yakni menyangkut globalisasi pasar-pasar finansial. Contohnya, listing berbagai
perusahaan dengan menggun beberapa mata uang, global market collapse pada Black
Monday di tahun 1987.
c. Chain
(network), terutama penyempurnaan dalam bisnis trava misalnya berkembangnya
jaringan-jaringan hotel dan age perjalanan internasional.
2. LINGKUP PEMASARAN
INTERNASIONAL
Lingkup
pemasaran internasional dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu pemasaran
domestik (domestic marketing), pemasaran ekspor (export marketing), pemasaran
internasional (international marketing), pemasaran multinasional (multinational
marketing), dan pemasaran global/transnasional (global transnational
marketing).
1. Pemasaran Domestik
Pemasaran
domestik merupakan aktivitas pemasaran yang secara eksklusif ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri (home country). Lingkup ini masih dapat
dijabarkan menjadi pemasaran lokal (hanya terbatas di lokasi geografis tertentu
dalam satu kota, propinsi atau negara bagian), regional (di beberapa propinsi
atau negara bagian dalam negara yang sama) dan nasional (di sebagian besar
wilayah negara bersangkutan).
2. Pemasaran
Ekspor
Pemasaran
ekspor adalah tahap pertama untuk merespons peluang-peluang pasar di luar
negeri. Sebenarnya pemasaran ekspor hanyalah ‘perpanjangan’ dari pemasaran
domestik yang memperluas pasar potensial perusahaan. Pemasar ekspor menjadikan
pasar di luar negeri sebagai sasaran dan menggantungkan diri pada produksi
dalam negeri untuk memasok pasar luar negeri tersebut. Fokus pada tahap ini
adalah memanfaatkan produk dan pengalaman dalam negeri. Pemasar ekspor yang
canggih akan mempelajari pasar sasaran dan mengadaptasikan produknya agar lebih
sesuai dengan kebutuhan spesifik dari para pelanggan di setiap negara.
3. Pemasaran Internasional
Per
definisi, pemasaran internasional merupakan kegiatan pemasaran yang melampaui
atau melewati batas-batas sebuah negara. Konsep ini didasarkan pada orientasi
yang bersifat etnosentris, di mana pemasaran internasional merupakan perluasan
dari pemasaran domestik yang dapat disebabkan oleh adanya pesanan dari
pelanggan luar negeri (misalnya turis Hong Kong yang pernah berkunjung ke
Indonesia memesan batik dan kerajinan perak dari Indonesia) atau adanya faktor
kejenuhan pasar domestik (misalnya televisi hitam putih dan mesin jahit mekanik
yang telah memasuki tahap penurunan dalam siklus hidup produknya di pasar
Indonesia diekspor ke negara-
negara
Afrika atau Eropa Timur). Secara garis besar, motivasi sebuah perusahaan untuk
'go international' dapat merupakan kombinasi dari sejumlah faktor proaktif dan
reaktif berikut (Budiarto Tjiptono, 1997):
(a)
Proaktif
· Untuk
meraih manfaat-manfaat tertentu, seperti tenaga kerja murah, pasokan bahan
baku, tanah yang lebih murah, terhindar dari hambatan tarif, keuntungan akibat
fluktuasi mata uang, serta fasilitas dan kemudahan yang disediakan pemerintah
host country bagi para investor asing.
· Perusahaan
memiliki produk yang unik, yang sumber-sumbemyz tidak ada di negara lain.
· Perusahaan
ingin memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, sehingga
dapat mencapai konsumen global secara lebih mudah.
· Adanya
informasi eksklusif tentang pasar global, misalnya ditemukannya sumber bahan
mentah baru dalam jumlah besar melalui foto satelit.
· Komitmen
manajemen untuk terjun ke arena pasar global.
· Untuk
memanfaatkan kemudahan regulasi ekspor yang diberikan pemerintah untuk
mendorong ekspor.
· Untuk
memperoleh skala ekonomis dalam produksi.
· Untuk
meningkatkan citra dan reputasi perusahaan, khususnya sebagai 'pemain global'.
· Untuk
memperoleh peluang riset, misalnya menguji produk di pasar luar negeri.
· Untuk
mengekspor teknologi ke negara-negara terbelakang dalam rangka membuka pasar.
· Untuk
meningkatkan pengaruh politik perusahaan.
(b)
Reaktif
· Perusahaan
menghadapi ancaman akan kehilangan pasar 'kandang' sendiri, karena diserbu
berbagai perusahaan asing dengan produk-produknya yang bermutu tinggi dan
bernilai lebih.
· Perusahaan
mengalami over-produksi, sehingga kelebihannya dipasarkan ke luar negeri.
· Untuk
mengatasi penurunan penjualan akibat pengaruh perubahan variabel demografis di
dalam negeri, misalnya pertumbuhan penduduk yang melambat.
· Untuk
memanfaatkan kelebihan kapasitas.
· Untuk
memperpanjang daur hidup produk perusahaan yang telah mencapai tahap jenuh di
pasar domestik.
· Untuk
mengurangi ketergantungan pada satu pasar saja.
· Untuk
menghindari resesi di dalam negeri.
· Untuk
mendekatkan perusahaan dengan konsumen demi kepentingan lalu lintas komunikasi
yang cepat dan efektif dari konsumen ke produsen atau sebaliknya dan menurunkan
biaya distribusi.
Pemasaran
internasional bertindak lebih jauh Iagi dari pemasar ekspor dan lebih terlibat
dalam lingkungan pemasaran di negara tempat perusahaan tersebut melakukan
bisnis. Misalnya, pemasar internasional bersiap untuk mencari sumber produk di
luar negeri agar dapat menikmati keunggulan kompetitif yang lebih besar.
Pemasar
internasional tidak terlalu menggantungkan diri pada pedagang perantara dan
lebih berminat untuk mendirikan perwakilan langsung guna mengkoordinasikan
usaha pemasaran di pasar sasaran. Melalui anak perusahaan di suatu negara,
pemasar internasional menciptakan organisasi internal yang berfokus pada
pemanfaatan produk dan kompetensi perusahaan tersebut di negara bersangkutan.
Organisasi pemasar internasional akan menggunakan jaringan komunikasi yang
dikembangkan untuk negara asal.
Pemasaran
multinasional merupakan kegiatan pemasaran yang melayani beberapa pasar luar
negeri, yang disertai dengan adaptasi terhadap perbedaan-perbedaan
karakteristik dan perilakunya (berorientasi polisentris). Bila perusahaan
internasional berusaha mengendalikan aktivitasnya secara sentralisasi, maka
perusahaan multinasional (Multi National Corporation = MNC) mengendalikan
aktivitasnya secara desentralisasi, yakni dengan jalan mengembangkan karyawan
lokal pada masing-masing negara tujuan pemasaran.
5. Pemasaran
global
Pemasaran
global didasarkan pada orientasi geosentris dan berfokus pada pemanfaatan aset,
pengalaman, dan produk perusahaan secara global serta pada melakukan adaptasi
terhadap apa yang benar-benar unik dan berbeda dalam setiap negara. Konsep ini
mengakui budaya universal dan perbedaan pasar yang unik. Tidak seperti pendekatan
perusahaan internasional yang menerapkan kampanye komunikasi yang dikembangkan
untuk negara asalnya di semua negara tujuan pemasaran atau pendekatan
multinasional yang menciptakan kampanye unik di setiap negara, perusahaan
global/transnasional akan membedakan apa yang bersifat global dan universal
serta apa yang spesifik dan unik di masing-masing negara.
Pemasaran
global tidak berarti memasuki setiap negara di dunia. Keputusan untuk masuk
pasar di luar negeri tergantung pada sumber daya perusahaan, serta sifat
peluang dan ancaman yang dihadapi. Misalnya, Coke dan IBM berkecimpung di lebih
dari 100 negara, karena mereka telah memulai ekspansi internasionalnya lebih
dari 50 tahun yang lalu dan mereka juga memiliki sumber daya untuk berkembang
yang dapat dimanfaatkan bila ada peluang.
3.
SEGMENTING, TARGETING & POSITIONING INTERNASIONAL
Segmentasi
pasar global merupakan proses mengidentifikasi segmen-segmen spesifik (baik
kelompok negara maupun kelompok konsumen individual) yang terdiri atas pelanggan
potensial dengan atribut-atribut homogen yang berkemungkinan memiliki perilaku
pembelian serupa. Di satu sisi, para pendukung globalisasi pasar sepakat dengan
argumentasi Theodore Levitt (1983) yang dituangkan dalam artikelnya berjudul
“The Globalization of Market" bahwa konsumen di berbagai negara cenderung
memiliki kebutuhan dan preferensi yang sama. Hal ini dilandasi keinginan
konsumen untuk mencari variasi, yang pada gilirannya dapat membentuk preferensi
terhadap produk yang secara tradisional dan historis bahkan tidak masuk dalam
pertimbangan pembeliannya.
Contohnya,
makanan etnis atau regional seperti pizza, hamburger, sushi, donat, kebab,
sejenisnya dapat dibutuhkan dan digemari di mana-mana. Levitt menyebut tren ini
sebagai “pluralization of consumption” dan “segment simultaneity” yang
memberikan peluang bagi para pemasar untuk menargetkan segmen dalam skala
global.
Di
sisi lain, preferensi lokal tidak dapat diabaikan. Contohnya, Campbell
mengurangi kadar gula pada sup tomatnya di Inggris. Di Jepang, Nabisco
mengurangi kandungan gula pada lini produk biskuitnya dan kandungan garam pada
makanan ringannya. Bahkan perusahaan global seperti Coca-Cola juga melakukan
modifikasi pada Classic Coke, dengan menambahkan kandungan gula untuk pasar Amerika
Latin. Jangankan dalam kancah pasar global, dalam pasar nasional pun kita
sering menjumpai bahwa konsumen di berbagai daerah memiliki selera rasa yang
berbeda.
Contohnya, konsumen Yogya cenderung
menyukai masakan yang manis, sehingga tak heran jika warung soto selalu
menyediakan kecap manis. Namun, di Kalimantan Timur justru sebaliknya. Kecap
asin yang biasanya tersedia di meja warung soto.
Oleh
sebab itu, perusahaan-perusahaan global umumnya menyadari keragaman sekaligus
kesamaan preferensi dan perilaku konsumen di berbagai negara. Untuk itu mereka
melakukan segmentasi pasar dunia berdasarkan salah satu atau kombinasi dari
beberapa kriteria kunci:
1) Segmentasi geografis,

2) Segmentasi demografis (termasuk pendapatan
nasional dan jumlah populasi),
3) Segmentasi
psikografis (nilai, sikap, dan gaya hidup),
4) Segmentasi
karakteristik perilaku, dan
5) Segmentasi
manfaat yang dicari (benefits sought).
6) Pasar
nasional juga dapat disegmentasi berdasarkan lingkungannya (misalnya, ada
tidaknya regulasi pemerintah dalam industri tertentu). Cara lain adalah dengan
melakukan segmentasi vertikal verus horizontal berdasarkan kategori pemakai
produk.
1. Segmentasi Geografis
Segmentasi geografis membagi dunia
menjadi kelompok-kelompok geografis, seperti Eropa Barat, Eropa Timur, Asia
Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah, Amerika Latin, Australia, dan lain
sebagainya. Keunggulan utama segmentasi geografis terletak pada aspek
kedekatannya (proximity), di mana pasar pada segmen yang sama relatif dekat satu
sama lain dan mudah didatangi pada kunjungan yang sama atau dihubungi dalam
zone waktu yang sama. Namun, segmentasi geografis memiliki keterbatasan pokok,
yaitu fakta bahwa beberapa pasar berada dalam kawasan geografis yang sama tidak
lantas berarti bahwa pasar-pasar tersebut benar-benar sama dalam hal preferensi
dan perilaku konsumennya. Jepang dan Vietnam, misalnya, sama-sama terletak di
kawasan Asia, namun Jepang berpendapatan tinggi dan tergolong negara
pasca-industri, sementara Vietnam termasuk negara berkembang dengan penghasilan
rendah. Perbedaan antara kedua negara ini justru melebihi kesamaan yang ada.
Menurut Simon (dikutip dalam Keegan, 1999), kawasan geografis merupakan basis
segmentasi yang peringkatnya paling rendah dibandingkan kriteria lain seperti
aplikasi, kelompok pelanggan, produk/teknologi, tingkat harga, dan kualitas.
2. Segmentasi Demografis
Segmentasi
demografis didasarkan pada karakteristik terukur dari populasi, seperti usia,
jenis kelamin, penghasilan, pendidikan dan pekerjaan. Sejumlah tren demografis
(seperti semakin sedikit pasangan yang menikah, semakin sedikit jumlah anak
dalam keluarga, perubahan peran perempuan, dan meningkatnya pendapatan serta
standar hidup) merupakan pendorong munculnya segmen global.
Bagi
sebagian besar produk konsumen dan industri, pendapatan nasional merupakan
satu-satunya variabel segmentasi paling penting dan merupakan indikator potensi
pasar. Pendapatan per kapita tahunan sangat bervariasi di pasar dunia, dari
serendah US$90 di Mozambique sampai setinggi US$42,000 di Luxemburg. Pendekatan
tradisional terhadap segmentasi demografis adalah mengelompokkan negara menjadi
segmensegmen berpenghasilan tinggi, sedang, dan rendah. Perusahaan biasanya
menjadikan negara dengan tingkat pendapatan tertinggi sebagai targetnya.
Banyak
perusahaan global yang juga menyadari bahwa untuk produkproduk yang harganya
cukup rendah (misalnya, rokok, minuman ringan, sabun mandi, shampo, pasta gigi,
pulpen, dan beberapa barang dalam kemasan lainnya), jumlah penduduk merupakan
variabel segmentasi yang lebih penting daripada pendapatan. Oleh sebab itu, RRC
dan India yang jumlah penduduknya sama-sama melampui 1 miliar merupakan pasar
sasaran yang atraktif bagi perusahaan-perusahaan yang menjual produk konsumen
berharga murah.
Segmentasi
psikografis adalah proses pengelompokan orang dalam hal sikap, nilai, dan gaya
hidupnya. Umumnya data diperoleh dari kuesioner yang meminta responden untuk
mengungkapkan sejauh mana mereka setuju atau tidak setuju dengan sejumlah
pernyataan. Beberapa studi psikografis terkenal meliputi VALS dan VALS 2 (oleh
SRI International) yang berfokus pada konsumen Amerika; Global Scan (Backer
Spielvogel & Bates); Euroconsumer Study (D'arcy Massius Benton &
Bowles); dan Cross Cultural Consumer Characterizations (Young & Rubicam).
Analisis-analisis
ini memberikan pemahaman rinci mengenai berbagai segmen, termasuk global
teenager dan global elite. Setiap studi mengidentifikasi segmensegmen yang
beraneka ragam.
Studi
VALS mengidentifikasi 9 segmen psikografis, yaitu Survivors (4%), Sustainers
(7%), Belongers (35%), Emulators (10%), Achievers (22%), Iam-me (20%),
Experientials (7%), Socially conscious (8%), dan Integrated (2%). Studi VALS 2
merampingkan 9 segmen tersebut menjadi hanya S segmen utama, yakni Actualizers,
Fulfilleds, Achievers, Experiences. Believers, Strivers, Makers, dan
Strugglers. Global Scan dari BSB mengelompokkan 5 segmen psikografis di 18
negara yang disurvai: Strivers (26%), Achievers (22%), Pressured (13%),
Adapters (18%), dan Traditionals (16%).
Euroconsumer
Study dari DMBB mengungkap adanya 4 kelompok gaya hidup utama: Successful
Idealists, Affluent Materialists, Comfortable Belongers, dan Disaffected
Survivors. Dua kelompok pertama mewakili kaum elit, sementara dua kelompok
berikutnya merupakan konsumen Eropa pada umumnya.
Sedangkan
studi 4C's oleh Young & Rubicam yang dilakukan di 20 negara menghasilkan 3
kelompok umum yang dapat dijabarkan menjadi 7 segmen: Constrained (Resigned Poor
dan Struggling Poor), Middle Majority (Mainstreamers, Aspirers, dan
Succeeders), dan Innovators (Transitionals dan Reformers).
4. Segmentasi Perilaku
Segmentasi
perilaku berfokus pada apakah orang membeli dan menggunakan suatu produk atau
tidak, di samping frekuensi dan volume pembelian atau pemakaian. Dengan
demikian, konsumen dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat pemakaian menjadi:
pemakai kelas berat pemakai sedang, pemakai ringan, dan bukan pemakai. Konsumen
juga dapat disegmentasikan berdasarkan status pemakai menjadi: pemakai
potensial, bukan pemakai, mantan pemakai, pemakai reguler, pemakai pertama
kali, dan pemakai produk pesaing.
Pengalaman
P&G memasarkan popok bayi (disposable diapers) di Jepang dapat menjadi
ilustrasi menarik mengenai pentingnya pemahaman atas dimensi segmentasi
perilaku ini. Setelah melakukan riset selamz beberapa tahun, pihak manajemen
P&G baru menyadari bahwa para orarg tua di Jepang mengganti popok bayi
mereka jauh lebih sering (rata-rata 14 kali sehari) dibandingkan para orang tua
di Amerika (hanya sekitar 6 kay sehari), namun mereka biasanya tidak memiliki
tempat penyimpanan seluas rumah-rumah di Amerika pada umumnya. Oleh sebab itu,
kotak popok berukuran besar menjadi masalah tersendiri bagi konsumen Jepang
Menyadari hal itu, P&G lantas mulai memproduksi popok yang lebih tipis dan
dikemas dalam kotak-kotak berukuran lebih kecil. Hasilnya, merek popok Ultra
Pampers hingga kini masih menjadi pemimpin pasar di Jepang.
Segmentasi
manfaat global berfokus pada pembilang dari persamaan nilai (value equation):
Value Benefit/Price. Ancangan ini dapat memberikan hasil yang memuaskan melalui
pemahaman superior pemasar atas masalah yang dapat diselesaikan oleh suatu
produk atau manfaat yang ditawarkannya, terlepas dari wilayah geografisnya.
Contohnya, Nestle mendapati bahwa sikap para pemilik kucing terhadap pemberian
makan binatang kesayangannya tidak berbeda di mana pun. Sebagai langkah tindak
lanjutnya, dirancang kampanye promosi di seluruh Eropa untuk Friskies, sebuah
merek dry cat food.
Menarik
diamati bahwa kadangkala pemasar internasional mendapati bahwa produknya
ternyata digunakan untuk keperluan yang berbeda di negara tujuan pemasaran.
Contohnya, sebagian konsumen di Asia Tenggara memakai shampoo bukan hanya untuk
keramas, tetapi juga untuk mencuci sepeda motor atau mobil. Demikian pula,
sabun bayi kerap kali dipakai konsumen remaja putri untuk mencuci muka dan
mandi, dengan harapan agar kulit wajah dan tubuhnya sehalus kulit bayi.
6. Segmentasi
Vertikal versus Horizontal
Segmentasi
vertikal didasarkan pada kategori produk atau modalitas dan titik harga.
Sebagai contoh, dalam medical imaging terdapat X-ray, Computed Axial Tomography
(CAT) scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan lain-lain. Setiap modalitas
memiliki titik penetapan harganya masing-masing. Titik harga ini merupakan cara
tradisional dalam mensegmentasikan pasar medical imaging.
Oleh
sebab itu, ada pula perusahaan yang melakukan segmentasi berdasarkan sistem penyampaian
jasa kesehatan: national research and teaching hospitals, rumah sakit
pemerintah, dan seterusnya. Kemudian, dibuat kampanye pemasaran yang bersifat
regional, nasional maupun global, yang disesuaikan dengan setiap tipe
penyampaian jasa kesehatan. dengan menggunakan dua kriteria utama, yaitu
potensi dan kapabilitas.
Potensi
menyangkut enam aspek krusial yang terdiri atas: (1) ukuran dan potensi
pertumbuhan pasar 'sesungguhnya'; (2) kemungkinan akseptansi konsumen; (3)
struktur persaingan; (4) situasi lingkungan politik/hukum, ekonomi dan
sosiokultural; (5) akses ke jaringan yang sudah ada; dan (6) ketersediaan mitra
lokal yang kapabel dan bersedia bekerja sama. Sedangkan kapabilitas berhubungan
dengan lima faktor: (1) kesiapan memasuki pasar internasional/pengalaman di
luar negeri; (2) kelangkaan dan kekritisan kompetensi; (3) sumber daya waktu,
manusia, dan kas; (4) attitudinal commitment; dan (5) tujuan (merespons
persaingan, aliran kas, pangsa pasar atau volume, dan entri pasar pendahuluan).
POSITIONING
Setelah
segmen pasar telah dievaluasi dengan cermat, perusahaan global perlu menetapkan
strategi targeting sesuai dengan kebutuhan. Ada tiga alternatif strategi
positioning yang dapat dipilih, yaitu:
· Standardized
Global Marketing. Strategi ini analog dengan pemasaran massal dalam pemasaran
domestik, di mana perusahaan menawarkan bauran pemasaran yang sama kepada semua
pelanggan potensial yang ingin dilayani. Untuk itu dibutuhkan distribusi
ekstensif di sebanyak mungkin gerai ritel. Daya tarik strategi ini terletak
pada volume penjualan yang lebih besar, biaya produksi yang lebih rendah, dan
profitabilitas yang lebih besar. Contoh perusahaan global yang menerapkan
strategi ini adalah Revlon yang menggunakan tema promosi "Shake Your Body"
ke seluruh dunia.
· Concentrated
Global Marketing. Dalam strategi ini, perusahaan merancang bauran pemasaran
untuk menjangkau segmen tunggal dalam pasar global. Dalam bisnis kosmetik,
strategi ini berhasll diterapkan oleh House of Lauder, Chanel dan produsen lain
yang menargetkan segmen pasar kalangan atas. Perusahaan seperti ini merumuskan
pasarnya secara sempit dan berkonsentrasi sebaik mungkin dalam memenuhi
kebutuhan pasar tersebut. Winterhalten misalnya, adalah perusahaan Jerman yang
sukses besar dalam menjual mesin pencuci piring khusus kepada hotel dan
restoran.
· Diffa-entiated
Global Marketing. Dalam strategi ini, perusahaan global menargetkan dua atau
lebih segmen pasar yang berbeda dan melayan: mereka dengan bauran pemasaran
yang berbeda pula. Strategi ini memungkinkan perusahaan untuk mencapai market
coverage yang
· Global
targeting merupakan proses mengevaluasi dan membandingkan berbagai segmen pasar
global, serta memilih satu atau lebih di antaranya sebagai pasar sasaran yang
dinilai berpotensi paling besar untuk dilayani secara efektif dan efisien.
Penetapan pasar sasaran global dapat dilakukan lebih luas.
Perusahaan-perusahaan otomotif global biasanya menerapkan strategi ini dengan
cara menawarkan berbagai variasi merek dan harga kepada segmen pasar yang
berlainan. Selain itu, perusahaan seperti SMH (the Swiss Watch Company) yang
memproduksi arloji Swatch dengan harga sekitar US$50 dan Blanpain seharga lebih
dari US$100,000; Unilever memasarkan parfum elit bermerek Calvin Klein dan
Passion sembari menawarkan pula Wind Song dan Brut sebagai merek pasar massal;
Cosmair Inc. menjual Tresnor dan Giorgio Armani Gio untuk pasar kalangan atas
dan Gloria Vanderbilt untuk segmen bawah; serta P&G yang menawarkan merek
Old Spice dan Incognito untuk segmen bawah dan Venezia untuk segmen
berpenghasilan tinggi.
Pada
prinsipnya, positioning berusaha menempatkan produk dalam benak pelanggan
sasaran sedemikian rupa sehingga dipersepsikan secara unik dan lebih unggul
dibandingkan produk dan merek pesaing dalam hal atribut dan manfaat produk.
Posisi yang unik dan unggul ini didapatkan dari berbagai diferensiasi, seperti:
produk (fitur, kinerja, kualitas, daya tahan, dan seterusnya); layanan
(pengantaran, instalasi, layanan purnajual, garansi); personel (reliabilitas,
empati, kapabilitas dan kompetensi); saluran distribusi (coverage, jaringan);
dan citra (simbolisme, merek, dan reputasi perusahaan). Dalam konteks pemasaran
internasional, ada beberapa alternatif strategi positioning yang dapat dipilih:
positioning berdasarkan atribut atau manfaat; kualitas/harga; pemakaian atau
aplikasi; pemakai; high-tech positioning; dan high-touch positioning.
1. Positioning Berdasarkan Atribut atau
Manfaat
Strategi
positioning yang paling banyak diterapkan adalah berdasarkan manfaat atau
atribut tertentu, seperti ekonomis, reliabilitas, durabilitas, fitur dan
seterusnya. Sebagai contoh, Volvo menekankan aspek ekonomis, durabilitas dan
keamanan di Amerika; status dan leisure di Perancis; kinerja di Jerman; dan keamanan
di Swiss. Dalam bisnis kartu kredit yang sangat kompetitif, iklan VISA berfokus
pada manfaat berupa akseptansi global (dapat digunakan di selun-lh dunia).
Sementara Goodyear menekankan manfaat keamanan ban di Inggris, durabilitas dan
mileage di Amerika, serta kinerja di Jerman.
2. Positioning Berdasarkan
Kualitas/Harga
Dalam
strategi ini, positioning dipandang sebagai kontinum antara 'high
fashion/quality and high price' dan 'good value at a Iow price . Contohnya, The
American Express (AMEX) Card diposisikan sebagai kartu prestisius untuk
kalangan atas yang dapat menjustifikasi fee tahunan lebih tinggi dibandingkan
VISA atau MasterCard. Sebaliknya, kartu kredit The Discover berada pada
kontinum 'good value at a Iowprice'. Posisi Discover ini ditunjang dengan
fasilitas tanpa fee tahunan dan rabat kas bagi para pemegang kartu setiap
tahun.
Positioning
juga dapat dilakukan dengan menggambarkan cara pemakaian produk atau mengasosiasikannya
dengan pemakai atau kelas pemakai tertentu dengan cara yang sama di setiap
pasar. Contohnya, Benetton menggunakan positioning yang konsisten untuk produk
busananya yang ditujukan kepada pasar kaum muda global. Kesuksesan luar biasa
yang didapat Marlboro sebagai merek global didapatkan antara lain dari asosiasi
produk dengan cowboys (sebagai simbol independensi, kebebasan, macho, dan gaya
hidup Amerikana) dan iklan transformasional yang menargetkan para perokok di
daerah urban.
4. High-Tech Positioning
Komputer
personal, video, peralatan stereo, dan mobil merupakan kategori produk yang
cocok untuk strategi high-tech positioning. Produle produk semacam ini biasanya
dibeli lebih berdasarkan fitur produk fisik meskipun citra juga penting. Para pembeli
umumnya telah memiliki (atau berharap mendapatkan) informasi teknis yang
memadai. High-tech products dapat dikelompokkan menjadi tiga: technical
products, special interest products, dan demonstrable products.
Komputer,
ban mobil, bahan-bahan kimia, dan jasa finansial nnerupakan technical products,
di mana pembeli memiliki kebutuhan spesifik, menuntut banyak informasi produk,
dan memiliki common language Pembeli komputer di Amerika dan Hong Kong
sama-sama tahu tentars persyaratan mikroprosesor Pentium, hard drives, dan RAM
(Ranciam Access Memory).
Oleh
karenanya, komunikasi pemasaran untuk high-tec± products harus informatif dan
menekankan fitur produk. Special-interest products juga bercirikan adanya
pengalaman bersama dan keterlibatan tinggi di antara para pemakainya, meskipun
tidak terlalu teknis dan lebih berorientasi pada aspek rekreasi atau leisure.
Dalam hal ini, common language and symbols yang diasosiasikan dengan produk
dapat melampaui hambatan-hambatan bahasa dan kultural. Contoh global special-interest
products antara lain peralatan olahraga Nike dan Adidas, kamera Canon, iPod,
Sony Play Station, Xbox, dan Nintendo Wii.
Sedangkan
demonstrable products adalah produk yang dapat berbicara sendiri' dalam
periklanan mengenai fitur dan manfaatnya. Kamera instan Polaroid merupakan
contoh produk global yang sangat demonstrable dan sukses.
5. High-Touch Positioning
Pemasaran
high-touch products menuntut lebih sedikit informasi spesifik dan lebih
menekankan Citra. Namunq seperti halnya high-tech products, kategori high-touch
juga bercirikan keterlibatan konsumen yang tinggi. Pembeli high-touch products
juga memiliki kesannaan bahasa dan serangkaian simbol khusus berkenaan dengan
kesejahteraan, materialisme, dan romantika. Ada tiga kategori high-touch
products: produk yang memecahkan masalah bersama; global village products, dan
produk yang menggunakan tema universal.
Produk
yang memecahkan masalah bersama bisanya memberikan manfaat yang dikaitkan
dengan "life's little moments", seperti penyajian kopi, teh dan
minuman ringan. Global village products menekankan positioning yang sangat
kosmopolitan, seperti parfum bermerek top, baju rancangan desainer ternama, air
mineral, dan pizza. Produk-produk semacam ini biasanya menekankan status yang direfleksikan
dengan produk yang berharga mahal, berkualitas tinggi dan sangat visible.
Namun, dapat pula daya tarik global diciptakan lewat citra negara asal (country
of origin), misalnya daya tarik 'Amerikana pada merek Levis, Marlboro, dan
Harley-Davidson sangat besar pada kalangan kosmopolitan di selun-lh dunia. Di
lain pihak, kategori produk bertema universal lebih menekankan tema-tema
seperti materialisme (citra atau status sejahtera dan sukses), heroisme
(pengorbanan), play (rekreasi/waktu luang) dan prokreasi (romantika).
Meskipun
demikian, beberapa produk dapat diposisikan dengan lebih dari satu cara, yaitu
dapat hightech dapat pula high-touch. Contohnya, kamera canggih dapat secara
simultan diklasifikasikan sebagai techni cal product dan special-interest
product.
Sementara
produk-produk lain dapat diposisikan dengan cara bipolar, yaitu sekaligus
sebagai high-tech dan high-touch products. Misalnya, produk elektronik Bang
& Olufsen dengan desainnya yang elegan dipersepsikan sebagai high-tech
sekaligus high-touch products.
4. ISU-ISU DALAM PEMASARAN
INTERNASIONAL
Dalam
ajang pemasaran internasional, setidaknya ada empat isu sentral yang patut
mendapatkan perhatian serius dari setiap pemasar: (1) standarisasi versus
adaptasi; (2) sensitivitas kultural; (3) nasionalisme dan country-of-oligin;
serta (4) mode of entry (strategi memasuki pasar luar negeri).
1.
Standarisasi versus Adaptasi
Isu
standarisasi versus adaptasi bukan hanya menyangkut aspek produk dan merek,
namun juga unsur bauran pemasaran lainnya, seperti distribus;t promosi dan
harga. Dalam mengambil keputusan menyangkut standarisas atau sebaliknya
adaptasi strategi pemasaran, sejumlah aspek perlu dipertimbangkan secara
matang, terutama menyangkut keunggulan atæ manfaat dan kelemahan masing-masing
alternatif. Dalam konteks global branding, keunggulan dan kelemahan melakukan
standarisasi.
Standarisasi
total pun sulit diwujudkan dikarenakan adanya sejumlah kendala berupa standar
dan regulasi, infrastruktur pemasaran, kondisi pemakaian, bahasa dan
simbolisme, kompetisi maupun preferensi pelanggan yang berbeda-beda. Berikut
ini adalah beberapa contoh di antaranya:
· Standardan
regulasi. Dalam sejumlah kasus, produk wajib dimodifikasi guna memenuhi
regulasi produk dan standar kualitas nasional maupun internasional (seperti ISO
9000). Peraturan semacam ini kerap dijumpai dalam produk-produk seperti
makanan, alat-alat listrik, Obatobatan dan otomotif. Sementara itu,
standarisasi merek menggunakan satu merek global dapat jadi mustahil dilakukan
dikarenakan sejumlah penyebab. Pertama, nama merek sudah terlebih dahulu
dipakai oleh perusahaan lain di negara tujuan pemasaran. Contohnya, di
Australia nama Burger King telah lebih dulu digunakan oleh sebuah restoran siap
saji di Perth. Konsekuensinya, sewaktu Burger King masuk Australia, nama yang
dipakai adalah Hungry Jack. Kedua, nama (dan juga logo) yang dipakai dapat
memiliki konotasi budaya yang berbeda. Sebagai contoh, Carlsberg harus
menambahkan gambar satu ekor gajah lagi pada label birnya yang semula bergambar
dua ekor gajah untukkeperluan ikian di Afrika. Penyebabnya adalah kepercayaan
setempat yang menganggap dua ekor gajah merupakan simbol nasib buruk. Ketiga,
ada tuntutan pemerintah setempat untuk menerjemahkan nama merek ke dalam bahasa
lokal, misalnya dl RRC, Jepang, dan negaranegara lainnya.
· Sistem
pengukuran dan kalibrasi. Ukuran-ukuran yang berbeda seperti kg, gr, pound,
liter. gallon, km, mil. dan seterusnya menyebabkan perlunya penyesuaian ukuran
produk-produk grocery terkemas, seperti deterjen, sereal, minuman ringan, dan
lain-lain. Selain itu, berbagai peralatan listrik (seperti mesin ketik
elektrik, meşin jahit, hairdryers, dan phonographs) harus diadaptasi untuk
voftage dan cycles yang berbeda. Kini mulai banyak dijumpai produk-produk yang
dirancang khusus untuk pemakaian di berbagai negara dengan sistem kalibrasi
yang berbeda, misalnya speedometer yang menunjukkan sekaligus satuan km dan
mil, serta alat-alat listrik yang memakai dua/ voltage.
· Iklim
dan kondisi pemakaian. Kadangkala prodük harus dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga dapat beroperasi secara efektif dalam lingkungan atau kondisi iklim
yang berbeda. Bahan-bahan bangunan seperti semen dan batu bata harus
diformulasi ulang untuk pasar Timur Tengah guna mencegah kekeringan dan
keretakan. Procter & Gamble harus memformulasi ulang gel yang dipakai dalam
prodük popoknya di Jepang, karena tingkat kelembaban yang tinggi di sana sering
menimbulkan luka atau lecet pada kulit bayi. Produk-produk seperti truk, mobil,
mesin-mesin berat dan tipe peralatan lainnya kerap kali juga harus dimodifikasi
agar dapat dimanfaatkan secara optimal di negara yang infrastruktur fisiknya
buruk, misalnya jalanan tak beraspal dan fluktuasi daya listrik yang terjadi
secara drastis. Produk perlu dimodifikasi pula untuk kondisi pemakaian di
negara yang berbeda. Misalnya, modifikasi ukuran dapat dibutuhkan karena adanya
perbedaan dalam hal ketersediaan ruang/tempat di rumah atau gerai ritel.
frekuensi pembelian, dan daya beli. Di banyak negara Asia, ukuran kemasan kecil
banyak dijumpai pada prodük seperti deterjen, sabun mandi, pasta gigi, shampoo,
kopi instan, dan seterusnya.
· Bahasa
dan simbolisme. Biasanya label kemasan dan instruksi pemakaian harus
diterjemahkan ke bahasa setempat, khususnya bila ada instruksi menyangkut
dosis, aturan atau prosedur pemakaian produk. Jika volume penjualan relatif
kecil, perusahaan dapat beradaptasi dengan memasang label dengan instruksi yang
memadai, atau u menyertakan pula terjemahan pada label standar. dapat juga
perusahaan memberikan panduan/petunjuk
Visual,
seperti yang dilakukan ła Ikea pada produk-produk mebelnya. Selain itu, pemasar
internasional harus pula mencermati simbolisme berkenaan dengan kemasan dan
bahasa. Dalam beberapa kasus, pemakaian bahasa asing dapat menimbulkan konotasi
prestise, kualitas atau hedonisme tertentu, misalnya pada parfum, pakaian atau
aksesoris buatan Perancis dan Italia. Penggunaan bahasa Inggris di
negara-negara berkembang, Rusia maupun Eropa Timur juga dapat menumbuhkan citra
positif di mata konsumen setempat. Karena itu, jangan gampang terkecoh bila
menjumpai merek-merek dengan nama asing (Inggris atau Jepang), karena bisa jadi
merek tersebut buatan lokal Indonesia. Selain itu, asosiasi warna juga dapat
memicu modifikasi produk. Contohnya, di Malaysia warna hijau melambangkan
bahaya. Konsekuensinya, warna hijau jarang dipakai untuk kemasan di sana.
· Preferensi
model, desain dan rasa. Modifikasi produk juga diperlukan dalam rangka memenuhi
preferensi pelanggan dalam hal model atau desain. Sebagai contoh, Avon
memodifikasi kemasan kosmetiknya di Jepang, dari tube plastik (yang
dipersepsikan murahan dan berkualitas buruk) menjadi kontainer kaca buram (yang
berkesan mewah dan mahal). Produk dapat juga harus dimodifikasi untuk memenuhi
preferensi rasa yang disukai konsumen, terutama dalam hal rasa manis atau
pahit.
2. Sensitivitas kultural
Perbedaan
budaya merupakan faktor yang paling signifikan sekaligus masalah paling pelik
yang dihadapi perusahaan multinasional. Ketidakmampuan pemasar memahami dan
mengapresiasi faktor ini kerap kali berujung pada kegagalan pemasaran
internasional. Columbia Pictures, misalnya, pernah melakukan blunder pada tahun
1983 sewaktu membangun movie set di Mesir, yang kemudian berakibat pelarangan
semua film Columbia Pictures di sana. Pihak berwenang di Mesir merasa
dilecehkan dengan sejumlah ketidakakuratan dalam menggambarkan Mesir di film
yang sedang dibuat Columbia Pictures saat itu, di antaranya aksen Pakistan, busana
Maroko, dan perilaku Amerika. Lebih parah lagi, Presiden Mesir Nasser
digambarkan sedang mencium istrinya di depan publik—sebuah hal yang tabu di
Mesir dan sejumlah negara lainnya.
Sewaktu
merayakan pembukaan cabang Hitachi di Amerika (Hitachi Automotive Products USA,
Inc.), gubernur Kentucky menyerahkan bendera Commonwealth of Kentucky kepada
eksekutif Jepang. Setelah membuka bendera tersebut untuk dipresentasikan kepada
para hadirin, eksekutif Jepang tadi secara sembrono menyeret bendera itu di
sepanjang lantai panggung. Di Jepang (dan di sejumlah negara lainnya), respek
yang diberikan pada bendera tidaklah sebesar di Amerika. Eksekutif Hitachi itu
tidak bermaksud melecehkan bendera Kentucky; ia semata-mata tidak paham mengenai
kultur Amerika dalam hal respek terhadap bendera. Namun, banyak di antara
audiens saat itu (terutama kalangan paruh baya) yang merasa dilecehkan dengan
tindakan eksekutif Hitachi tersebut. Hal-hal yang kelihatannya sepele, seperti
menolak minum kopi, dapat menimbulkan masalah besar dalam negosiasi bisnis
internasional. Pernah ada eksekutif Amerika yang menolak tawaran minum kopi
bersama dari mitra negosiasi bisnis lokal di Arab Saudi. Tindakan semacam itu
dinilai sangat tidak sopan di Arab Saudi. Sejak itu, proses negosiasinya
berlangsung alot.
Salah
satu isu yang tak kalah kompleksnya adalah menyangkut pemberian hadiah. Di
beberapa negara di kawasan Amerika Latin, alat-alat pemotong (seperti pisau,
gunting, dan lain-lain) dan sapu tangan bukanlah barang yang tepat untuk
dijadikan hadiah, karena benda-benda tersebut menyiratkan pemutusan hubungan
atau kemungkinan terjadinya peristiwa menyedihkan. Sementara itu, di Timur
Tengah, tuan rumah akan merasa 'terhina apabila tamu membawa makanan atau
minuman ke rumahnya, karena hadiah seperti itu dipandang menyiratkan bahwa
mereka bukanlah tuan rumah yang baik. Situasi ini kontras dengan budaya
barbeque di Australia, di mana lazimnya para tamu membawa makanan atau minuman
untuk disantap bersama.
Membuat
simbol OK dengan menempelkan ibu jari dan telunjuk sementara 3 jari lainnya
diacungkan merupakan hal biasa bagi orang Amerika dan mungkin pula sebagian
orang Indonesia. Di Perancis, simbol OK itu berarti angka nol, sementara di
Jepang simbol itu justru melambangkan uang. Namun, di sebagian kawasan Amerika
Latin, simbol itu bermakna vulgar. Sebuah perusahaan Amerika pernah melakukan
blunder sewaktu mencetak katalog dengan simbol OK di setiap halamannya.
Walaupun kesalahan itu cepat teridentifikasi, semua katalog yang semula
dimaksudkan untuk diedarkan di kawasan Amerika Latin itu sudah terlanjur
dicetak. Akibatnya, terjadi penundaan selama 6 bulan untuk menunggu proses
cetak ulang semua katalog.
Contoh-contoh
berikut mengilustrasikan lebih lanjut betapa pentingnya pemahaman atas
perbedaan budaya dalam menunjang keberhasilan pemasaran internasional.
Pelajaran pentingnya: jangan pernah meremehkan masalah perbedaan budaya dan
bahasa.
· Pengalaman
Campbell Soup Company menunjukkan bahwa modifikasi produk cenderung lebih mudah
dilakukan dibandingkan edukasi pelanggan. Orang Inggris terbiasa membeli sup
kalengan, namun tidak dalam bentuk kental (condensed). Awalnya kebanyakan di
antara mereka mempersepsikan sup kental Campbell lebih mahal, karena volumenya
kelihatan lebih sedikit dibandingkan merek-merek sup lokal yang bentuknya cair.
Campbell Soup Company punya dua pilihan: mengedukasi konsumen Inggris atau
mengubah produk. Perusahaan ini memilih alternatif kedua, yakni menambahkan air
pada sup kentalnya sehingga produknya tampak sama dengan sup-sup lainnya yang
sudah terlebih dahulu diterima pasar.
· Terpikat
oleh potensi dan liberalisasi pasar India, raksasa sereal Kellogg's memutuskan
untuk masuk ke pasar negara berpopulasi terbesar kedua di dunia tersebut di
tahun 1994. Sayangnya, investasi senilai US$ 65 juta yang dikucurkan untuk
mengintroduksi merek utamanya, Corn Flakes, gagal memenuhi harapan. Sekalipun
Kellogg's kemudian meluncurkan pula merek-merek sereal lainnya, seperti
Kellogg's Wheat Flakes, Frosties, Rice Flakes, Honey Crunch, AII Bran, Special
K dan Chocos Chocolate Puffs, hasilnya tetap saja tidak menggembirakan. Bahkan
Kellogg's juga telah mencoba menawarkan variasi rasa baru (seperti mangga,
kelapa dan ros) dengan merek Mazza, hasilnya jauh di bawah target. Bagi
kebanyakan orang
India
(seperti halnya juga orang Tionghoa), sarapan dengan sesuatu yang dingin
(seperti susu dingin yang dituangkan pada sereal) bukan saja tidak Iazim, namun
juga bertentangan dengan 'rituaľ atau kebiasaan makan pagi. Sementara, bila
susu hangat dituangkan pada Corn Flakes, sereal itu malah bakal jadi seperti
kertas basah.
· Apple
Computer masuk pasar Jepang sebelum IBM, namun gagal memanfaatkan pioneer
advantages. Apple berusaha menjual produknya di Jepang tanpa modifikasi. Bahkan
manual pemakainya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Baru setelah IBM
masuk dengan strategi customization, Apple menyadari kesalahannya. Kini Apple
telah menerjemahkan manualnya dan juga melakukan berbagai perubahan lainnya, serta
kinerjanya telah jauh lebih baik.
· McDonalďs
menyesuaikan menunya dengan selera berbagai pasar negara yang dimasukinya.
Mereka menyediakan bir di Jerman, anggur (wine) di Perancis, McOz di Australia,
dan McSpaghetti di Filipina
· Burger
King tidak memakai sesame seed buns di Venezuela. Selain itu milkshare dibuat
lebih manis dan ber-cream, demikian pula kecapnya jauh lebih manis daripada
biasanya di negara-negara lain.
· Wendy's
menawarkan shrimp cake sandwiches di Jepang.
· Setelah
sempat kurang sukses dengan produk standarnya, Domino’s Pizza akhirnya
memutuskan untuk mengakomodasi selera lokal di pasar India dengan jalan
menawarkan berbagai variasi topping Piza lokal, seperti 'peppypanner' dan
'chicken cettinaď.
· Ketika
MTV India diluncurkan, tujuan utamanya adalah membawo musik-musik Barat
(seperti rock, rap dan pop) ke negara tersebut, Namun, sekarang kebijakan
musiknya sedikit bergeser dengan mengakomodasi pula genre musik India, seperti
bhangra.
· Pengalaman
Whirlpool di India menunjukkan bahwa konsumen di sana enggan membeli kulkas
yang ukurannya lebih besar daripada ukuran standar 165 liter.
· Coca-Cola
gagal memasarkan minuman kolanya dalam kemasan botol plastik 2 liter di
Spanyol. Penyebabnya, hanya sedikit rumah tangga Spanyol yang memiliki kulkas berukuran
cukup besar untuk menyimpan botol sebesar itu.
· Hallmark
sukses di banyak negara dengan produknya berupa kartu ucapan yang berisi
kata-kata romantis dan puitis untuk momen-momenpenting. seperti ulang tahun,
peltunangan, pernikahan, Hari Ibu, kelahiran, dan seterusnya. Namun, formula
sukses tersebut tidak dapat dilransfer ke Perancis. Orang Perancis cenderung
lebih suka menulis sendiri kartu ucapannya.
· Para
pemasar deterjen dari mancanegara harus memodifikasi kemasannya di Jerman
karena konsumen Jerman sangat memedulikan informasi rinci tentang cara kerja
dan chemical actions deterjen.
· Angka
empat merupakan angka yang tidak disukai orang Jepang karena kata 'empat' dalam
bahasa Jepang homofon dengan kata 'mati dalam bahasa yang sama. Karena itu, tidaklah
mengherankan bahwa produsen bola golf dari Amerika mengalami kegagalan sewaktu
memasarkan produknya dengan 4 bola golf dalam setiap kemasannya.
· Pada
mulanya kampanye promosi P&G untuk deterjen Cheer di Jepang menggunakan
slogan yang sama dengan di negara asalnya, yakni menekankan keunggulan
produknya yang efektif untuk "segala temperatur air". Di Amerika,
slogan itu sukses karena konsumen Amerika mencuci pakaiannya dengan temperatur
yang berbeda-beda, tergantung preferensi masing-masing. Namun, konsumen Jepang
mencuci sebagian besar pakaiannya dengan air dingin, sehingga Unique Selling
Proposition (USP) deterjen Cheer menjadi tidak relevan. Akhirnya P&G
mengganti slogannya dan lebih menekankan keunggulan deterjennya pada air
dingin. Sejak itu kinerja penjualan Cheer di Jepang mengalami peningkatan
signifikan.
· Majalah
Time sempat memuat iklan berbahasa Spanyol dalam edisi Brasil-nya. Saat itu
mungkin pihak editor Time lupa bahwa orang Brasil berbahasa Portugis, bukan
Spanyol.
· Avon
sempat melakukan blunder ketika berusaha menggunakan ibu-ibu rumah tangga
Jepang untuk menjual produknya door-to-door di lingkungan tempat tinggalnya
masing-masing. Masalahnya, ibu-ibu rumah tangga Jepang cenderung enggan menjual
produk apa pun kepada orang yang tidak mereka kenal. Mengundang orang 'asing'
ke rumah merupakan hal yang tidak lazim bagi kebanyakan wanita Jepang.
· Kasus
‘lost in translation’ kerap kali dijumpai dalam praktik pemasaran
internasional. Pertama, dalam salah
satu iklannya yang ditayangkan di New
York, Acura mengklaim “The Legend
and integra, cats that break tradition, now your bank account”. Jelas sekali
bahwa yang dimaksud adalah kata not, bukan kata now. Kedua, KFC pernah melakukan blunder sewaktu menerjemahkan slogan
terkenalnya “finger lickin’ goo” ke dalam bahasa Mandarin menjadi “eat your
finger off”. Ketiga, Parker Pen
Company menemui masalah sewaktu mempromosikan slogannya "Avoid
embarrassment—use Parker Pens” di beberapa negara di kawasan Amerika Latin.
Slogan tersebut sebelumnya sukses di Amerika, di mana Parker menekankan
reliabilitas pulpennya yang tidak bakal meninggalkan noda tinta di kantung baju
pemiliknya. Sayangnya, istilah Spanyol untuk embarrassment ternyata bermakna
ganda; kata itu juga dapat berarti kehamilan. Tanpa disadari, Parker Pens malah
mempromosikan pulpennya sebagai alat kontrasepsi. Keempat, Pepsi sempat menjadi bahan tertawaan di Taiwan ketika
slogan iklannya yang berbunyi ”Come alive with the Pepsi generation” ternyata
diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin menjadi "Pepsi will bring your
ancestors back from the deaď. Kelima,
Olfa Corporation, sebuah perusahaan Jepang, menjual pisau di Amerika dengan
tulisan peringatan di kemasannya yang berbunyi:
“Caution:
Blade Extremcely Sharp! Keep Out of Children”. Kelihatannya yang dimaksudkan
adalah "Keep out of reach of children”. Keenam, sewaktu salah satu hotel di Acapulco mempromosikan program
pengendalian kualitasnya, pesan yang disampaikan kira-kira berbunyi: "the
manager has personally passed all the water served here”. Ketujuh, kebun binatang di Budapest memasang pesan bagi para
pengunjungnya yang berbunyi: ”Please do not feed the animals. If you have any
suitable food, give it to the guard on duty”.
Kedelapan,
Adolph Coors Co., produsen bir Coors Light, memakai jasa agen periklanan untuk merancang materi promosi birnya
yang menargetkan kalangan Hispanik di Amerika
Serikat.
Sang copywriter berusaha menerjemahkan slogan ”Turn it loose” ke dalam bahasa
Spanyol,
namun sayangnya rangkaian kata yang dipilihnya justru menyiratkan "Drink
Coors and get diarrhea”. Kesembilan,
kampanye iklan Frank Perdue's chicken yang aslinya berbunyi "It takes a
strong man to make a tender chicken” malah diterjemahkan menjadi “It takes an
aroused man to make a chicken affectionate” di Spanyol. Kesepuluh, slogan iklan American Airlines "Hy in leather”
diterjemahkan dalam bahasa Spanyol menjadi ”fly nakeď.
Tidak
mengherankan bahwa kampanye tersebut gagal di Meksiko. Kesebelas, produsen vacuum cleaner ternama Electrolux mempromosikan
produknya diAmerika dengan slogan "Nothing sucks like an Electrolux".
Mereka kelihatannya tidak menyadari bahwa slogan tersebut dapat
diinterpretasikan secara berbeda dalam bahasa Inggris. Keduabelas, tag line rokok Salem "Feeling free"
diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa Jepang menjadi "feeling so
refreshed that your mind seems to be free and empty". Ketigabelas, dalam rangka memanfaatkan momentum kunjungan Paus ke
Miami, sebuah perusahaan T-shirt Amerika mencetak kaos untuk pasar Amerika
Latin. Namun, tulisannya justru dibaca "I saw the potato" (la papa), bukan
"I saw the Pope" (el Papa).
Dalam
pemasaran global kerap kali dijumpai adanya stereotyping tentang sikap terhadap
produk buatan luar negeri. Stereotyping tersebut dapat positif, dapat pula
negatif. Faktor determinannya meliputi iklan dan promosi sebelumnya, reputasi
produk, dan evaluasi serta pengalaman konsumsi produk. Yang pasti, stereotyping
tersebut berpengaruh terhadap pemasaran internasional produk tertentu.
Banyak
penelitian yang mengungkap bahwa evaluasi yang dilakukan konsumen atas suatu
produk tertentu tidak hanya didasarkan pada daya tarik dan karakteristik fisik
produk saja, tetapi juga berdasarkan negara asalnya (country of origin = COO).
Yang dimaksud dengan county-oforigin effect adalah segala pengaruh dari negara
asal terhadap persepsi positif maupun negatif konsumen atas produk dan merek
tertentu. Beberapa contoh stereotyping positif meliputi: Perancis yang terkenal
dengan reputasinya pada produk fashion wanita; Jerman (mobil dan optik), Swiss
(arloji), Inggris (busana pria), Cina (sutera); Jepang (produk elektronik), dan
seterusnya. Di lain pihak, negara-negara berkembang sering kali dipersepsikan
negatif sebagai COO berbagai jenis produk, seperti otomotif, produk elektronik
canggih, komputer, dan seterusnya.
Namun,
tak satu pun negara yang memonopoli reputasi positif untuk sebuah produk
spesifik dan juga tidak ada reputasi yang secara universal inferior. Persepsi
masing-masing individu di setiap negara cenderung berbeda-beda terhadap
seberapa penting dampak COO bagi keputusan pembelian yang mereka lakukan.
Implikasinya, reputasi suatu negara dapat berbeda-beda di setiap negara dan
dapat berubah seiring perubahan waktu. Dengan demikian, citra negara tidak
seragam. Misalnya, arloji buatan Swiss disukai di Eropa dan dijual dengan
marjin besar, namutn Jepang, pelanggan justru lebih menyukai arloji buatan
Jepang i Sedangkan di Amerika, preferensi terhadap arloji buatan Swiss
bervariasi antar daerah.
Sejauh
ini riset COO berfokus pada sejumlah aspek, cli antaranyn country-of-assembly
(COA), country-of-design (COD), country-of-branded (COB),
country-of-manufacture (COM), culture-of-origin, consumer nationalism, consumer
patriotism, consumer ethnocentlism, consumer animosity, dan Iain-lain. Beberapa
temuan empiris penting dari riset-riset tersebut meliputi:
· COO
berpengaruh signifikan terhadap sikap konsumen, perseptil terhadap kualitas,
dan minat pembelian produk. Bukan hal yann mengejutkan bila riset menemukan
bahwa negara maju cenderunq dievaluasi secara lebih positif dibandingkan negara
berkembang sebagni Iokasi perancangan dan perakitan produk, baik produk
konsumen maupun industrial. Akan tetapi, dampak COO bervariasi antarkategori
produk dan tipe konsumen. Manakala konsumen kurang memaharni sebuah produk, COO
kerap kali digunakan sebagai surrogate variable dalam mengevaluasi alternatif
produk. Misalnya, jika seorang konsumen belum pernah membeli kamera digital dan
sama sekali awam terhadap produk tersebut, ia bakal mempertimbangkan negara
asai bermacam-macam pilihan merek dan produk sewaktu mengevaluasi dan
menentukan pilihan akhir.
· Sejumlah
riset menunjukkan bahwa country-of-manufacture (citra label "made
in") cenderung tidak terlalu relevan dalam era global saat ini,
Penyebabnya adalah banyak perusahaan manufaktur yang melakukan outsoulcing
dalam rangka mencapai keunggulan kompetitif, terutama dalam aspek harga. Produk
seperti sepatu, baju, elektronik, mainan anak-anak, dan mobil, contohnya,
banyak yang justru diproduksi cli negara berkembang (seperti Cina dan Vietnam).
Oleh sebab itu, tampaknya counüy-of-branding (COB) lebih relevan; walaupun Nike
diproduksi di Vietnam atau Indonesia, konsumen tetap menganggap Nike adalah
merek asal Amerika.
· Di
satu sisi, merek-merek global lebih disukai dibandingkan merekmerek lokal,
dikarenakan citra superior, kualitas aktual dan perseptual yang lebih unggul,
hasrat meniru gaya hidup di negara maju, preferensi terhadap status simbolik,
kosmopolitanisme, worldmindedness, dan seterusnya. Di Sisi lain, merek lokal
lebih disukai dibandingkan merek asing, dikarenakan faktor-faktor seperti
etnosentrisme, nasionalisme, patriotisme, local icon value, perbaikan kualitas
produk lokal, perceived lisk terhadap produk asing, dan seterusnya. Kendati
demikian, tidaklah gampang menilai apakah sebuah merek tertentu itu merek lokal
atau merek global hanya dari namanya saja. Banyak perusahaan yang menerapkan
foreign branding (memakai nama berbau asing) dalam rangka menciptakan persepsi positif
dan preferensi pelanggan. Oleh sebab itu, merek perlu dibedakan berdasarkan
dimensi negara asal (origin) dan kepemilikan merek (ownership) menjadi empat
jenis (Tjiptono, 2003; Tjiptono & Craig-Lees, 2004). Pertama, original local brands (OLB), yang mencakup merek-merek
yang berasal dari negara setempat/lokal dan dimiliki oleh orang/perusahaan
lokal. Contohnya antara lain rokok Djarum Super, jamu Nyonya Meneer, Kopi Kapal
Api, harian Kompas, teh Sosro, dan seterusnya. Kedua, quasi local brands (QLB). terdiri dari merek-merek yang
berasal dari negara lokal, namun dimiliki oleh orang/perusahaan asing. Kategori
ini terdiri atas dua bentuk: (1) OLB yang diambilalih oleh perusahaan
multinasional, tetapi nama merek lokalnya dipertahankan (contohnya, Sampoerna
dibeli Philip Morris); dan (2) merek lokal yang dikembangkan dan dipasarkan
secara khusus untuk pasar domestik tertentu oleh perusahaan multinasional
(contohnya, Toyota Kijang di Indonesia). Ketiga,
acquired local brands (ALB) yang meliputi merek-merek yang berasal dari negara
lain, namun dimiliki oleh orang/perusahaan lokal. Termasuk di dalamnya
perusahaan dan merek asing yang dinasionalisasi. Keempat, foreign brands atau
global brands (FB GB), yang merupakan kebalikan dari OLB: berasal dari luar
negeri dan dimiliki orang/perusahaan asing (contohnya, Levi's, Nike,
McDonald's, Pepsi, Adidas, Marlboro, Coca-Cola, dan seterusnya).
· Konsumen
etnosentris cenderung lebih menyukai produk buatan negaranya sendiri dan
menganggap pembelian produk impor sebagai tindakan keliru. Mereka bahkan
bersedia mengorbankan manfaat 'obyektif' (seperti kualitas lebih unggul, harga
lebih murah, layanan lebih bagus) demi menikmati manfaat psikologis dari
mempertahankan komitmen nasionalisme dengan membeli produk dan merek buatan dalam
negeri. Sejumlah riset di berbagai negara mengidentifikasi karakteristik
konsumen etnosentris bercirikan: berusia lebih tua, lebih banyak wanita
dibandingkan pria, berpendidikan relatif rendah, cenderung konservatif, dan
bersikap patriotik. Sebaliknya, kelompok konsumen pria, berusia lebih muda,
berpendidikan lebih tinggi, berpenghasilan lebih tinggi, dan tidak konservatif
cenderung tidak terlalu etnosentris. Akan tetapi, ada pula temuan menarik yang
menyimpulkan bahwa konsumen di negara berkembang justru lebih menyukai produk
buatan negara maju dibandingkan produk buatan dalam negeri Fenomena ini dikenal
dengan istilah reverse ethnocentrism, di mana aspek foreignness justru
dipersepsikan lebih superior dibanding produk domestik.
Dalam
konteks tertentu, konsumen memboikot produk yang berasoi dari negara spesifik
dikarenakan peristiwa militer, politik, ekonomi. maupun aspek-aspek sensitif
Iainnya. Dalam fenomena yang disebut consumer animosity ini, konsumen tidak
bersedia membeli produk dari offending countries, terlepas dari penilaian
kualitas produk. Dalam artian, sekalipun produknya sangat bagus, konsumen yang
memiliki tingkat animosity tinggi terhadap negara tertentu tidak berseclia
membeli produk buatan negara bersangkutan. Sebagai contoh, produk buatan
Perancis diboikot oleh konsumen Australia dan Selandia Baru dikarenakan
pengujian nuklir di Pasifik Selatan oleh Perancis; produk Jepang diboikot
konsumen RRC di kota Nanjing dikarenakan trauma selama masa pendudukan Jepang,
khususnya pada peristiwa “Nanjing Massacre”; produk Amerika diboikot di
sejumlah negara Islam dikarenakan keterlibatan Amerika di Afganistan dan Irak;
sebagian konsumen Amerika tidak menyukai Jepang dan produk buatan Jepang
dikarenakan persepsi negatif bahwa Jepang berdagang secara tidak fair dengan
Amerika; dan sebagainya. Lebih lanjut, animosity dapat dibedakan menjadi empat
macam. Pertama, stable animosity, yakni perasaan negatif yang timbul karena
latar belakang historis umum, seperti masalah ekonomi, politik atau militer
sebelumnya antarnegara. Individu yang memiliki animosity (kebencian, dendam
atau rasa permusuhan) mungkin saja tidak memiliki pengalaman pribadi berkenaan
dengan peristiwa historis (misalnya, perang) yang memicu emosi negatif
tersebut. Rasa benci atau dendam tersebut justru lebih didasarkan pada
pandangan orang Iain. Stable animosity cenderung diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Kedua, situational animosity, yakni perasaan negatif
yang berkaitan dengan kondisi spesifik. Contohnya, krisis ekonomi di Asia dapat
menumbuhkansentimen negatif terhadap negara tertentu, misalnya Amerika Serikat
dan Jepang. Ketiga, national animosity (macro level animosity), yaitu sentimen
negatif seseorang terhadap negara tertentu yang didasarkan pada persepsi terhadap
perlakuan negara tersebut terhadap negaranya, misalnya persepsi terhadap dampak
negatif negara tertentu terhadap kemajuan ekonomi negaranya. Keempat, personal
animosity (micro level animosity), yaitu animosity yang didasarkan pada
pengalaman negatif personal terhadap negara lain atau warga negara lain.
Sebagai contoh, animosity dapat timbul karena seseorang kehilangan pekerjaan
akibat krisis moneter dan ia menganggap sumber penyebab krisis tersebut adalah
negara lain tertentu.
4. Mode of entry
Secara
garis besar alternatif strategi memasuki pasar negara lain meliputi: ekspor,
kontraktual, wholly-owned subsidiaries, dan E-marketing. Ekspor masih dapat
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi ekspor tidak langsung, ekspor bersama,
dan ekspor langsung. Mode ofentry kontraktual terdiri atas lisensi-waralaba,
contract manufacturing, dan usaha patungan. Sedangkan wholly-owned subsidiaries
meliputi akuisisi dan greenfield.
a. Ekspor
Ekspor
merupakan strategi yang paling sering dijumpai dalam memasuki pasar internasional,
terutama untuk entri pertama kali. Tak jarang motivasi ekspor lebih dikarenakan
permintaan tak terduga, misalnya ada pesanan dari pembeli tertentu di luar
negeri atau ada pelanggan domestik yang berekspansi ke pasar internasional dan
memesan produk untuk keperluan operasi internasionalnya. Permintaan-permintaan
semacam ini mendorong perusahaan untuk memper-timbangkan pasar internasional
dan mengkaji potensi pertumbuhannya. Namun, tak jarang dijumpai pula perusahaan
yang secara agresif melakukan ekspor sebagai penjajagan pendahuluan, sebelum
kemudian berkembang dengan melakukan operasi bisnis berbasis di luar negeri.
Kendati
demikian, pemakaian jasa agen ekspor juga mengandung beberapa risiko. Kendali
atas cara memasarkan produk di negara lain sangat terbatas atau bahkan tidak
ada. Produk bahkan mungkin dijual lewat saluran distribusi yang tidak tepat,
dengan layanan atau dukungan penjualan yang buruk, promosi yang tidak memadai,
serta underpriced atau malah sebaliknya overpriced. Hal ini dapat merusak
reputasi atau citra produk di negara lain. Selain itu, terbatasnya upaya
pemasaran yang dicurahkan untuk mengembangkan pasar dapat mengakibatkan
opportunity loss potensial.
Ekspor
Bersama. Ekspor bersama merupakan alternatif menarik bagi perusahaan yang ingin
mengendalikan penjualan internasionalnya dalam batas-batas tertentu namun
memiliki keterbatasan sumber daya pemasaran atau volume penjualannya belum
mampu menunjang pembentukan organisasi penjualan ekspor sendiri. Dalam hal ini,
perusahaan menjalin kesepakatan kolaboratif dengan perusahaan lain untuk
bekerja sama dalam hal riset, promosi, pengiriman, distribusi atau aktivitas
lainnya menyangkut keperluan ekspor. Bentuk ekspor semacam ini banyak dijumpai
dalam pemasaran komoditas (seperti beras, woodchips, dan buah-buahan).
Bila
ukuran pasar, biaya pengiriman, hambatan tarif dan faktor-fcakto' lainnya
menyiratkan pentingnya mendirikan fasilitas produksi yang clelGit dengan
pelanggan luar negeri, padahal perusahaan enggan terlibat dalam operasi semacam
itu, ada sejumlah alternatif yang dapat dipilih. Diantaranya, contract
manufacturing memungkinkan perusahaan untuk mengembangkan dan mengendalikan
pemasaran, distribusi, dan pelayanan produknya di pasar internasional, sembari
mengalihkan tanggung jawab produksi kepada perusahaan lokal.
Di
lain pihak, lisensi memungkinkan perusahaan untuk meraih manfant dari inovasi
teknologi, merek, nama korporat, atau proprietary assetg lainnya di pasar
internasional, tanpa harus terlibat langsung dalam operasi produksi atau
pemasaran di luar negeri. Demikian pula halnya dalam industri jasa,
pengembangan bisnis waralaba dengan wirausahawan Iokal memungkinkan pihak
franchisor berekspansi secara internasional derogan memanfaatkan talenta
kewirausahaan dan sumber modal lokal. Alternatif lainnya adalah membentuk usaha
patungan dengan perusahaan atau organisasi lain guna menjalankan aktivitas
pemanufakturan atau pemasaran internasional.
Akan
tetapi, strategi lisensi juga memiliki sejumlah kelemahan, potensi laba atau
returns terbatas, dan pengembangan pasar terbatas (terutama apabila licensee
tidak mencurahkan perhatian yang atau tidak memiliki sumber daya untuk
mengembangkan pasar optimal).
Risiko
lisensi dapat diilustrasikan dengan jelas pada pengalaman PepsiCo dan Xerox.
PepsiCo menjual hak lisensi perusahaan air mineral Perancis, untuk membotolkan
dan merek-mereknya di Perancis. Namun, Perrier kalah bersaing dengan pesaing
utamanya (Badoit dan Evian) di hypermarket dan pasar swalayan Karena kedua
saluran distribusi ini ternyata mendominasi sistem distribusi minuman, Pepsi
kehilangan banyak pangsa pasar dan akhirnya memutuskankan kontraknya dengan
Perrier. Xerox melakukan kesalahan serupa yang lebih mengenaskan saat memutuskan
untuk memberi hak eksklusif yang berlaku selama-lamanya kepada organisasi Rank
di Inggris untuk memasarkan semua produk yang bernaung di bawah hak paten Xerox
di pasar-pasar di luar Amerika. Rank-Xerox gagal memanfaatkan kesempatan
tersebut dan hanya mampu mengembangkan beberapa pasar di Eropa, tapi gagal di
kawasan lainnya. Akibatnya, Xerox harus membeli kembali hak lisensinya dengan
nilai jutaan dolar.
Lisensi
juga dapat menghambat entri pasar berikutnya oleh licensor Meskipun perusahaan
membatasi jangka waktu kesepakatan lisensi, sangatlah sukar memasuki pasar jika
kontrak berakhir. Mantan licensee dapat menjadi pesaing potensial. Lagipula,
perusahaan masih harur, memulai Iagi pengumpulan informasi mengenai pasar,
menjalin kontak dan membangun saluran distribusi. Selain itu, dalam beberapa
kasus licensee berhenti membayar royalti dan perusahaan sulit melacak penjualan
yang royalitnya masih harus dibayar.
Waralaba
(Franchising). Waralaba merupakan bentuk lisensi dalam industri jasa seperti
restoran siap saji, ritel, persewaan mobil, hotel, pendidikan, dan agen pencari
kerja. Franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk melakukan bisnis atas
nama franchisor dengan cara-cara yang ditetapkan, dengan imbalan royalti,
biasanya dalam bentuk fee atau persentase dari penjualan. Pada tahun 2002,
penjualan waralaba global oleh sekitar 16.000 franchisor dan lebih dari 1 juta
franchisee diperkirakan mencapai US$ 1,5 triliun. Secara global, kebanyakan
waralaba dijumpai pada industri restoran éiap saji (17%), otomotif (9%),
kesehatan dan fitness (7%), jasapemeliharaan (7%), serta jasa-jasa lainnya,
seperti bangunan dan konstruksi, kecantikan, jasa personal, ritel, dan
lain-lain. Contoh perusahaan yang melakukan ekspansi internasional dengan
strategi waralaba antara lain McDonald's, Dunkin Donuts, Kentucky Fried
Chicken, Krispy Kreme, Domino's Pizza, Hilton Hotels, Body Shop, Starbucks,
Century 21, BreadTalk, Video Ezy, Subway, dan seterusnya.
Menurut data Asosiasi Franchise
Indonesia (dikutip dalam Firdanianty, 2007), jumlah waralaba yang beroperasi di
Indonesia mengalami perkembangan pesat, terutama sebelum era krisis moneter.
c. Investasi Langsung (
molly-Owned Subsidiaries)
Berbagai
masalah dan kesulitan dalam mengelola usaha patungan dan tipe-tipe kesepakatan
kontraktual Iainnya merupakan faktor pendorong bagi keputusan sebagian
perusahaan untuk melakukan investasi langsung, sejauh itu diperbolehkan dan
perusahaan memiliki sumber daya untuk merealisasikannya. Selain memberikan kendali
penuh atas produksi dan pemasaran, operasi kantor cabang juga mengeliminasi
kemungkinan konflik kepentingan dan masalah-masalah manajemen yang muncul dalam
contract manufacturing, lisensi atau usaha patungan. Semua laba yang diperoleh
dari wholly-owned subsidiaries menjadi milik perusahaan sepenuhnya. Selain itu,
perusahaan dapat mencurahkan usaha maksimum untuk mengembangkan pasar sesuai
dengan arah yang diinginkan, mempromosikan merek-merek internasional, atau
mengembangkan produk baru yang memanfaatkan keterampilan dan/atau sumber daya
perusahaan dari negara tujuan pemasaran Iainnya. Perusahaan memiliki dua
pilihan dalampengembangan operasi cabang, yaitu mengakuisisi perusahaan yang
ada atau membangun sendiri operasinya dari awal (greenfieldd plant).
Akuisisi.
Strategi mengakuisisi operasi yang sudah ada memberikan sejumlah keuntungan, di
antaranya memungkinkan entri yang cepat, akses ke saluran distribusi, basis
pelanggan sudah ada, dan dalam beberapn kasus, merek atau reputasi perusahaan
sudah mapan. Dalam beberapn kasus, manajemen yang sudah ada tetap
dipertahankan, sehingga dapat dijadikan semacam 'jembatan' untuk memasuki pasar
dan memungkinkan perusahaan untuk memperoleh pengalaman dalam beroperasi di
lingkungan pasar lokal. Ini khususnya sangat penting bagi perusahaan yanq
keahlian manajemen internasionalnya relatif terbatas atau kurang 'familiar'
dengan pasar lokal.
Akuisisi
juga merupakan pilihan tepat bilamana industri yang dimasuki sudah sangat
kompetitif dan hanya tersedia sedikit ruang bagi 'pemain baru'. Situasi lain
yang juga cocok adalah jika hambatan masuknya relatif besar. Contohnya,
Electrolux masuk ke pasar Amerika dengan jalan mengakuisisi sebuah perusahaan
vacuum cleaner Amerika dan kemudian White-Westinghouse, dengan merek-merek seperti
Frigidaire dan Kelvinator. Dengan cara itu Electrolux dapat mendapatkan akses
cepat pada pasar dan jaringan dealer Amerika.
Meskipun
demikian, tak jarang terdapat pula berbagai masalah dengan strategi akuisisi,
misalnya masalah memodernisasi pabrik, peralatan dan pasokan energi yang sudah
ketinggalan jaman, tantangan perubahan sikap dan cara kerja karyawan, perubahan
mindset dan budaya perusahaan lama, dan lain-lain.
Greenfield.
Berbagai persoalan berkenaan dengan akuisisi memunculkan kebutuhan akan
strategi operasi greenfield, di mana perusahaan lebih suka memulai operasi baru
dari awal, khususnya dalam 3 kondisi: (1) jika logistik produksi merupakan
faktor kunci sukses dalam industri; (2) tidak ada target akuisisi yang memenuhi
kriteria perusahaan; atau (3) target akuisisi yang ada terlalu mahal.
Perusahaan-perusahaan mobil Jepang, misalnya, masuk ke pasar Eropa dengan
mendirikan greenfield plants, terutama d Inggris. Perusahaan-perusahaan
tersebut membangun pabrik perakitan baru yang memungkinkan mereka memanfaatkan
teknologi produksi terbaru sembari menyeleksi lokasi yang paling menguntungkan
dalam hal biaya tenaga kerja, harga tanah, pajak, dan transportasi.
Pendirian
pabrik baru juga memfasilitasi pengembangan sistem produksi dan logistik yang terintegrasi
secara global. Mesin-mesin dapat diproduksi di pabrik A, chasis di pabrik B,
lantas keduanya dikirim untuk keperluan perakitan di pasar akhir. Kemampuan
mengintegrasi operasi antar negara dan menentukan arah ekspansi internasional
di masa depan sering kali menjadi motivasi utama untuk mendirikan operasi yang
dimiliki 100%, meskipun dibutuhkan waktu lebih lama dalam membangun pabrik
ketimbang membelinya.
Wholly-owned subsidiaries, baik akuisisi
maupun greenfield, membutuhkan komitmen dan keterlibatan total dalam ekspansi
internasional. Manajemen tidak mengandalkan atau tergantung pada mitra lokal
dan harus mengembangkan keahliannya sendiri dalam menghadapi lingkungan pasar
lokal.
Seperti
halnya strategi-strategi lainnya, akuisisi dan greenfield memiliki beberapa
kelemahan, terutama dalam hal kebutuhan modal dan sumber daya manajemen yang
sangat besar. Di satu sisi, komitmen kepemilikan pada operasi internasional
memberikan kendali yang besar, namun di sisi lain menyebabkan risiko besar dan
tingkat fleksibilitas yang rendah.
d.
E-Marketing
Dalam
beberapa tahun terakhir, Internet muncul dan pesat sebagai salah satu metode
entri pasar luar negeri yang efektif. Ssat ini telah banyak perusahaan yang
memanfaatkan Internet untuk keperluan memasarkan produknya dalam pasar global.
Perusahaan-perusahaan mulai aktif merancang katalog Internet yang ditujukan
pada negara-neqnłn tertentu dalam situs Web yang multibahasa. Contohnya,
perusahaan komputer terkemuka Dell Computer Corporation mulai menjual Ŕomputer
via Internet pada tahun 1997 ke berbagai negara, seperti Malaysia, Australia,
Hong Kong, Selandia Baru, Singapura, Taiwan dan negă' n negara Asia lainnya.
Kini Dell juga telah merancang 'virtual store' khusus untuk melayani pasar Eropa.
Direct
marketer terkemuka lainnya yang juga menerapkan sistem situs Web multibahasa
adalah Sun Microsystems dan perusahaanaftermarketing- nya, SunExpress. Para
pelanggan di berbagai belahan dunia bisa men dapatkan informasi online mengenai
produk dan jasa serta memesannyo secara langsung dan aman dalam bahasa
setempat.
5. E-MARKETING
Pertumbuhan
pemakaian Internet mengalami peningkatan dramatis dalam beberapa tahun
terakhir. Ini dapat dilihat dari estimasi sejumlal) survei bahwa pemakai
Internet di seluruh dunia bakal meningkat dua kali lipat dari sekitar 318 juta
orang di tahun 2000 menjadi sekitar 717 juta orang di tahun 2005.
Secara
simplistik, jika sebuah perusahaan merancang dan mengoperasikan homepage dan
melayani pesanan produk melalui Internet, maka perusahaan bersangkutan sudah
menjadi pemasar internasional yang menjalankan e-business atau e-marketing.
Kenyataannya, mulai banyak perusahaan (terutama berskala kecil dan menengah)
yang sejak awal pendiriannya memutuskan untuk berkomitmen pada pasar
internasional melalui cara-cara ini. Istilah yang biasa dipakai untuk mengacu
pada fenomena ini adalah instant international firms, dot.com companies, atau
born-global firms. Istilah bom-global perlu dibedakan dengan graduat global
dalam sejumlah aspek.
Pertama, dari
Sisi pelakunya, kebanyakan bornglobal firms adalah perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dałam knowledge-based
industries, terutama yang bermunculan pada pertengahan 1990an. Sementara
graduat-global firms didominasi perusahaan manufaktur.
Kedua, dałam
hal proses internasionalisasi, born-global firms cenderung melewati proses yang sifatnya non-linear dan cepat,
sedangkan gradual-global firms melewati tahap-tahap inkremental dan terencana.
Ketiga, usia
born-global firms saat pertama kali 'go internationaľ cenderung relatif muda
(bahkan sebagian dałam tahap
pendirian dan introduksi perusahaan), sementara gradual-born firms biasanya
berusaha mapan terlebih dahulu di pasar domestik dan baru kemudian disaat usia
perusahaan relatif dewasa masuk ke kancah pasar global.
Sejauh
ini, sumber pemasukan bagi sebagian besar perusahaan dotcom Indonesia adalah
iklan banner, fee transaksi, biaya keanggotaan, penjualan berita, jasa
e-commel-ce, web hosting, biaya berlangganan ISP, transaksi saham, dan komisi
penjualan (Pambudi, 2000). Akan tetapi, manfaat potensial e-marketing
sebenarnya lebih dari itu dan terdiri atas dua kategori (Hanson, 2000; lihat
Tabel 12.11). Pertama, penyempurnaan proses bisnis, dalam hal enhancement (pembentukan
merek, kategori produk, dan kualitas), efisiensi (penekanan biaya dan free
trial), dan efektivitas (peningkatan dukungan dealer, dukungan pemasok, dan
pengumpulan informasi). Kedua, sumber pendapatan bagi perusahaan, baik yang
berasal dari mitra bisnis (seperti sponsorship, aliansi bisnis, spot
advertising, biaya prospek, dan komisi penjualan), maupun dari konsumen
(seperti penjualan produk, pay per use, biaya berlangganan, dan bundle sales).
Dengan demikian, pemanfaatan e-marketing bukan semata-mata untuk keperluan
menciptakan arus pendapatan. ntuk keperluan menciptakan arus pendapatan.
E-marketing
berbeda secara signifikan dengan pemasaran tradisional dalam sejumlah dimensi
utama (lihat Tabel 12.12). E-marketing memunn kinkan pertukaran relasional dalam
lingkungan digital, berjaringan (networked dan interaktif. Fungsi-fungsi utama
e-marketing mencakup 11 elemen yang dirumuskan menjadi 4P + P2C2S3 (Kalyanam
& McIntytu, 2002):
· Product,
meliputi product assortment, configuration engine, dan alat perencanaan serta
layout.
· Price,
di antaranya dynamic pricing, forwald auctions, reverse auctions, dan
name-your-price.
· Place,
seperti afiliasi dan remote hosting.
· Promotion,
mencakup online ads, sponsol-ed links, outbound email viral marketing, dan rekomendasi.
· Personalization,
di antaranya customization, individualization, ruled based system, dan
collaborative filtering.
· Privacy,
terutama menyangkut data-data pribadi pelanggan.
· Customer
service, misalnya Frequently Asked Questions (FAQ) dan help desk, Email
Response Management, dan chat.
· Community,
contohnya chat rooms, user ratings & reviews, registries & wish lists,
dan reputation scoring.
· Site, di
antaranya homepage, navigation & search, dan desain serta layout webpage.
· Security,
yakni keamanan bertransaksi.
· Sales
Promotion, seperti e-coupon.
Secara
garis besar, e-marketing mengalami proses evolusi tiga tahap: (1) information
publishing (penyediaan konten/brosur interaktif), di mana organisasi
menggunakan website semata-mata sebagai sumber informasi; (2) transactional
sites, yaitu situs yang memfasilitasi transaksi online, dan (3) mass
customization, yaitu pemanfaatan kapabilitas teknologi online untuk
mempersonalisasi pesan dan layanan kepada konsumen individual (Dann & Dann,
2004).
Sementara
itu, tipologi websites dapat dirinci menjadi tiga macam: (1) image-building,
yaitu situs-situs yang bertujuan meningkatkan citra dan reputasi perusahaan,
contohnya www.miaanet.com.au, www.seqwav.com, dan www.rspca.orq.uk; (2) sales
assistance, yaitu situs-situs yang dirancang untuk mendorong penjualan dan
berperan sebagai katalog produk dan sistem referal penjualan; dan (3) integrated
websites, yaitu kombinasi antara image-building dan sales assistance
(McNaughton, 2001; lihat Tabel 12.13).

Menurut Turban,
et al. (2000), terdapat delapan perspektif yang menjadi basis utama
E-marketing.
Kedelapan
perspektif tersebut adalah:
1.
Direct
marketing versus indirect marketing
Direct
marketing berarti bahwa pemanufaktur mengiklankan dan mendistribusikan produk
yang dihasilkannya kepada para pelanggan via toko elektronik berbasis Intemet
(atau media telemarketing lainnya) tanpa campur tangan perantara apa pun. Dell
Computer adalah salah satu contohnya. Sedangkan indirect marketing berarti
bahwa produk didistribusikan melalui perantara pihak ketiga, seperti e-ma]s.
Produsen dapat menjual produk yang dihasilkannya melalui Internet jika toko
elektronik/virtualnya memiliki visibilitas tinggi. Namun, jika visibilitas
langsung dari perusahaan dan mereknya terlalu rendah dan/atau bila mengelola
independent server tidak layak secara ekonomis (sebagaimana banyak dihadapi
perusahaan kecil), maka produk bersangkutan lebih baik dipajang di e-mails
pihak ketiga yang lebih terkenal.
2. Full cybermarketing versus partial
cybermarketing
Full
cybermarketing (pure cybermarketing) adalah strategi memasarkan produk dan jasa
hanya melalui Internet (contohnya Amazon), sedangkan palfial cybermarketing
merupakan strategi menjual produk melalui Internet dan juga toko fisik
tradisional (seperti Barnes & Noble, Dymocks, Angus & Robertson, dan
Toko Buku Gramedia). Secara umum, full cybermarketing companies adalah
perusahaan-perusahaan yang muncul dalam era e-business di dekade 1990-an dan
awal. milenium baru, sedangkan palfial cybermarketing cotnpanies
perusahaan-perusahaan yang sebelumnya telah menjalankan bisnis konvensional dan
kini merespons secara reaktif terhadap perkembangan e-business.
3. Electronic distributor versus electronic broker
Berdasarkan
tanggung jawab atas pemenuhan pesanan dan garanni. perantara elektronik
(electronic intermediaries) dapat clibeclal{nn menjadi electronic distributors
dan electronic brokers. Berbeda dengan electronic distributors yang bertanggung
jawab penuh atas produk yang dijual dan penerimaan pembayaran, electronic
brokers justru hanya membantu mencari produk dan pemasok yang cocok bagi
pelangqnn tertentu. Oleh sebab itu, broker tidak melaksanakan tanggung jawol)
pemenuhan pesanan, garansi, dan penerimaan pembayaran. Broker menerima komisi
dari pemasok atas jasanya membantu kelancaran) transaksi. Contoh electronic
distributors meliputi eToy, Amazon clan Wal-Mart Online, sedangkan contoh
electronic brokers antara loin
www.choicemall.com,
www.bestbookbuys.com, www.shopnow. com, dan Situs direktori seperti Yahoo,
Google, Altavista dan Excite dapat juga dianggap memainkan peranan sebagoi
electronic brokers. Pembayaran dapat diterima oleh broker maupun pemasok
bersangkutan, tergantung pada kontrak di antara mereka. E-broker masih dapat
dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu generalized e-broker dan specialized
e-broker. Contoh generalized e-broker antara lain www.openmarket.com,
www.internet-mall.com, dan wwwimall.com. Sedangkan contoh specialized e-broker
fineliputi www.buy.com, www.columbia.house, www.intraware.com.
www.softwarebuyline.com, www.hotwired.com, dan www1800flowers.com.
4. Electronic store (e-store) versus
electronic shopping mall (e-mail)
Tidaklah
mudah membedakan antara e-store dan e-mail. Dalam konteks pemasaran tradisional
di market place, sebuah shopping mal/ adalah kumpulan berbagai toko (stores),
dan masing-masing toko di dalam mal tersebut adalah distributor independen.
Secara
sederhana, e-store adalah website perusahaan tunggal yang menjual produk dan
jasa tertentu. Toko tersebut dapat dimiliki pemanufaktur (seperti
www.qeappliances.com), pengecer (www.walmart.com), individu yang menjual dari
rumah, atau tipe bisnis lainnya. Sementara itu, e-mall merupakan pusat perbelanjaan
online tempat banyak toko berlokasi, contohnya www.choicemall.com, www.buy.com,
dan www. firststopshops.com.
5. Generalized e-malls/stores versus
specialized e-malls/stores
Generalized
e-malls stores menangani berbagai macam kategori produk, sehingga penawarannya
sangat beragam. Online department stores masuk dalam jenis ini.
Contoh-contohnya antara Iain www. amazon.com, uuus.shopp4.com, dan
www.spree.com. Sedangkan specialized e-malls stores berfokus hanya pada tipe
item atau produk tertentu, seperti buku, bunga, mobil, atau mainan. Contohnya
antara Iain (komputer dan peralatan elektronik), www. 1800flowers.com (bunga),
dan www.fashionmall.com (produk kecantikan).
6. Proactive versus reactive strategic
posture toward cybermarketing
Proactive
strategic posture toward cybermarketing berarti bahwa saluran distribusi utama
perusahaan adalah Internet, dan aktivitas internal seperti manajemen sediaan
dan operasi difokuskan untuk mengoptimalkan manfaat cybermarketing. Sebaliknya,
reactive strategic posture toward cybermarketing berarti bahwa saluran
distribusi fisik tradisional tetap menjadi saluran utama, meskipun perusahaan
telah membuka saluran distribusi online. Jadi, gaya dan aktivitas manajemen
internal tradisional tetap tidak berubah.
7. Global versus regional marketing
Meskipun
Internet terkoneksi dengan seluruh dunia, beberapa produk dan jasa tidak dapat
disediakan secara global. Kendala-kendala yang dihadapi di antaranya biaya
pengiriman yang terlalu mahal untuk kawasan tertentu; hambatan peraturan yang
membatasi rentang jasa tertentu, seperti perbankan dan asuransi; daya tahan
produk (seperti makanan basah dan sayuran); dan bahasa. Oleh sebab itu,
manajemen perusahaan harus memutuskan rentang bisnis secara geografis.
8. Sales versus customer service
Situs
beberapa perusahaan digunakan semata-mata atau terutama untuk keperluan layanan
pelanggan. Semua Situs perusahaan besar yang berkecimpung dalam bisnis
perangkat lunak dan perangkat keras komputer menyediakan Situs layanan
pelanggan, yang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan sembari menekan biaya
penyediaan personel call center. Sebagai contoh, sampai dengan talnun 1998
memakai situsnya semata-mata untuk keperluan layanan Sementara itu, banyak pula
perusahaan yang memiliki dua situs: satu untuk penjualan dan satunya lagi untuk
layanan pelanggan.